Miko tiba-tiba
datang kepadaku dan memaksaku untuk menaiki motor merah besarnya, karena kami
sudah lama berteman dan sudah satu sekolah sejak SMP. Aku pun mengiyakan saja
ajakannya untuk membawaku pergi walaupun aku tidak tahu ke mana dia akan
membawaku.
Aku percaya
kepada Miko hanya karena kami sudah lama berteman dan kukenal karakternya itu.
Setiap hari ada saja yang diceritakan Miko kepadaku, penting atau tidak itu
bagiku dia tetap mau membagi ceritanya kepadaku. Begitu pula sebaliknya aku
kepada Miko. Selain itu Miko lelaki yang baik, patuh, rajin dan sopan, terlebih
kepada orangtuaku, setiap perkataanya penuh dengan tata bahasa yang halus dan
lembut walaupun kadang ia suka mengejekku. Tapi itulah cara kami berteman
sampai sekarang ini.
“Miko, kemana
kamu membawaku pergi?” tanya ku kepadanya yang dari tadi hanya berkonsentrasi
kepada jalan yang ditujunya.
“Sebentar lagi
kamu juga akan mengetahuinya, bersabarlah!” jawabnya.
Aku tahu ada
sesuatu yang ingin disampaikan Miko kepadaku, mungkin sesuatu yang penting atau
hanya guyonannya saja seperti biasanya. Entahlah, apapun itu akan kudengarkan
untuknya. Tak sabar aku menunggu, perjalanan ini sudah semakin jauh
meninggalkan tempat Miko menjemputku tadi, walaupun aku tahu jawaban Miko hanya
menyuruhku bersabar untuk mengetahui ke mana dia akan membawaku pergi dan apa
yang akan dikatakannya kepadaku nanti tetap saja aku ingin lekas mengetahuinya.
Kuberanikan diri untuk menanyakannya sekali lagi.
“Seberapa jauh
lagi kau akan membawaku pergi Miko, sebenarnya apa yang akan kamu katakan
kepadaku sampai-sampai sejauh ini kamu membawaku pergi?” Tanyaku dengan
penasarannya.
“Sabarlah dulu
Kimi, sebentar lagi juga akan terlihat tempat yang akan kita tuju itu,”
jawabnya seolah tidak mau mengatakan apa yang ingin dikatakannya sebelum sampai
ke tempat itu.
Kimi,
begitulah ia memanggilku di antara teman-teman dan orangtuaku yang biasa
memanggilku Lidya. Karena namaku adalah Kimilidya, aku juga tidak mengerti
kenapa dia memanggilku begitu, tapi karena itu juga menyangkut namaku jadi kubiarkan
saja dia memanggilku Kimi.
Akhirnya,
setelah menempuh perjalanan jauh itu kami sampai di sebuah pantai yang indah.
Di sana kulihat sekumpulan cahaya indah tertata rapi membentuk sebuah hati,
kudekati dan kuperhatikan betapa indahnya cahaya itu.
“Miko, inikah
yang mau kau tunjukkan kepadaku? Ini indah,” kataku mengagumi perbuatan Miko
ini.
Kami pun duduk
di tengah-tengah cahaya lilin yang mengelilingi itu, begitu hangat mengalahkan
udara dingin hembusan angin pantai yang mengarah kepada kami. Kami pandangi
keindahan pantai yang sudah hampir menenggelamkan matahari setengah bagian.
Begitu indah dengan warna jingga kemerah-merahan yang bersinar mengkilap itu.
“Kimi,
pernahkah kamu berpikir aku bisa melakukan hal ini? Tentu tidak mudah
membuatnya, tidak mudah juga menempuh perjalanan jauh untuk bisa melakukan ini.
Hal yang hanya akan kulakukan untuk seseorang yang aku cintai,” kata Miko
dengan mata sendunya memandang ke arah pantai yang ombaknya bergulung-gulung
dengan ributnya.
“Miko, apakah
kamu sedang jatuh cinta? Kepada siapa? Tidak seperti biasanya aku melihat mata
sendumu itu, seseorang yang sedang jatuh cinta bukankah harus bahagia?” tanyaku
penasaran kepada Miko
“Ya Kimi aku
bahagia, aku jatuh cinta. Sudah lama sekali, lama sebelum kita berkenalan. Lama
sebelum kita bisa seakrab ini, aku jatuh cinta. Cinta kepada dia seorang, dan
hanya untuknyalah aku menaruh hati ini. Aku memandangnya dari jauh hanya karena
ingin melihat senyum manisnya, bahagianya sangat berarti di pandanganku,” jawab
Miko menjelaskan.
“Benarkah? Kenapa
kamu tidak pernah menceritakannya kepadaku? Setelah sekian lama kita berteman,
aku pikir ceritamu sudah kudengar semua. Tapi nyatanya kamu menyembunyikan hal
seperti ini dariku. Bolehkah aku mengetahui siapa orang itu? Orang yang selama
ini kamu cintai itu?” tanyaku lagi
Miko
menghembuskan napasnya dalam, seolah berat dia mengatakannya kepadaku.
Kupandangi wajahnya dengan tulus, matanya masih saja menampakkan kesenduan yang
membuatku merasa tidak enak hati untuk terus memandanginya.
“Maafkan aku
Kimi, mungkin hanya itu yang bisa kulakukan. Menyembunyikan sesuatu yang
membuatku bahagia, menyembunyikan seseorang yang sungguh kucintai, tak berani
kuungkap semua rasaku. Aku terlalu takut untuk kehilangannya, terlalu takut
memudarkan senyum di wajahnya hanya karena dia mengetahui betapa aku sungguh
mencintainya,” jawab Miko yang terlihat menyimpan saja perasaannya itu.
Akankah aku?
Akankah aku orang yang dimaksud Miko? Apakah Miko mencintaiku? Tapi kenapa dia
tidak mengungkapkannya dan mengatakan yang sebenarnya kepadaku? Apa karena
semua ceritaku, ceritaku tentang semua lelaki yang kukenal yang mendekatiku
hanya untuk menjadikan aku kekasih mereka. Seringkali aku mengenalkan lelaki
yang jadi pacarku kepada Miko, tapi Miko hanya memaksakan senyumnya agar
terlihat olehku dia juga merasakan kebahagiaanku saat itu. Hanya itu yang
kupikirkan di kepalaku saat ini, berusahaku menampik pikiranku barusan berharap
Miko tidak benar-benar mencintaiku karena dengan begitu hubungan kami tidak
akan terpecah seperti halnya aku dengan mantan-mantanku dulu. Tapi kemudian
Miko bersuara lagi, mungkin dia sudah tidak tahan untuk segera memberitahuku
seseorang yang dicintainya itu.
“Miko, Kimi,
Kimi, Miko.. Tidakkah orang-orang sudah memasangkan nama kita? Saat aku dicari
seseorang dan tidak tahu harus mencari ke mana, semua orang menyarankan namamu
untuk lebih cepat menemukanku, begitu juga sebaliknya aku. Sekarang kita sudah
begitu dekat satu sama lain, tidak kusangka sampai sejauh ini kupendam
perasaanku, perasaanku kepadamu. Gadis yang selama ini kucintai,” kata Miko
mengagetkanku dengan wajahnya yang tulus kupandangi.
Dugaan akan
pikiranku tadi ternyata benar, Miko mencintaiku. Dapat kubayangkan perasaannya
yang tulus itu karena kukenal karakter lelaki yang hampir setiap hari kulihat
ini namun tak pernah bosan aku bersamanya. Walaupun begitu, kenapa aku tidak
merasakan hal yang sama seperti Miko? Tak pernah terbersit sedikit pun di benakku
untuk mencintai Miko, karena Miko itu sahabatku, sesorang yang tidak ingin
kuubah pandangannya yang awalnya baik dan akhirnya menjadi jahat seperti
kebanyakan laki-laki yang pernah kucintai dan mencintaiku.
“Miko,
benarkah itu? Kenapa aku? Benarkah selama ini kau menjadi sahabatku hanya
karena ingin mendekatiku? Bukankah kamu tahu aku tidak akan pernah menjadikan
sahabatku sebagai kekasihku dalam kehidupan ini. Kenapa kamu mengatakannya
kalau kamu sudah tahu akan jawabanku? Untuk itukah kamu memasang wajah sendumu
itu kepadaku?” tanyaku terus kepada Miko
“Berhentilah
untuk terpaku dengan anggapan kekasih dan pasangan hidup itu akan membuatmu
merasa nyaman di awal dan susah di akhir. Tidak semua lelaki seperti itu!
Semuanya memunyai jodoh masing-masing untuk dipertanggungjawabkan kehidupannya
kelak oleh lelaki yang menjadi pasangannya. Kenapa kamu terlalu takut merasa
disakiti oleh laki-laki yang baik terhadapmu? Buktinya selama ini kamu bergonta
ganti pasangan dan sering mengenalkannya kepadaku, walau akhirnya kamu disakiti
juga oleh mereka. Apa mereka semua tidak membuatmu menjadi belajar akan
kesalahan terdahulu? Aku, yang selama ini sudah menjadi sahabatmu juga belajar
dari cerita-ceritamu kepadaku.” Jawab Miko yang tiba-tiba memuncakkan amarahnya
kepadaku.
“Stop Miko,
stop!! Berhentilah mencintaiku, aku akan bahagia di depanmu, kamu akan dengan
leluasa melihat senyumku setiap hari kalau kamu tidak mengatakan hal ini
kepadaku. Aku sangat menyayangimu, menyayangi sahabat-sahabatku, tidak mau
hanya karena cinta dan keinginan untuk bersama selamanya kuhancurkan
kegembiraanku bersama sahabatku. Tidak akan mudah, tidak akan sama jadinya
kalau saling memunyai perasaan itu,” teriakku di tengah kegelapan yang hanya
menyisakan cahaya dari beberapa lilin yang tersusun di sekeliling kami
Miko sudah
tidak bersuara dan menuntunku untuk melewati pasir pantai yang lembut untuk
menuju ke arah motor merah besarnya itu. Dia tahu batas waktu pulangku ke rumah,
sebelum lewat waktu itu Miko biasanya mengajakku untuk segera pulang mau atau
tidak mau aku karena baginya aku adalah tanggungawabnya sebagai seorang sahabat
yang baik di mata keduaorangtuaku.
Kebisuan
menyelimuti perjalanan pulang kami, tak ada sepatah kata pun yang kami ucapkan,
hanya memendam perasaan masing-masing di dalam hati. Meninggalkan kenangan di pantai
indah itu, kenangan yang hanya bisa kulihat dari wajah Miko yang semakin sendu
itu. Miko memang lelaki yang bertanggung jawab, begitu sampai di rumahku dia
langsung meminta maaf karena memulangkanku sedikit terlambat dari biasanya
kepada Abah yang kebetulan belum tidur saat itu. Seperti yang aku duga, Abah
begitu memercayai Miko, sehingga mudah bagi Miko untuk mendapatkan maaf dari
Abah.
Setelah hari
itu, tak terlihat lagi Miko di sampingku. Tidak seperti biasanya dia selalu
menghampiri kekelasku untuk sekadar bercanda gurau bersama, karena kelas kami
berbeda. Akhir-akhir ini sulit sekali untuk menemukan kami bersama, saat orang
lain mencari Miko kepadaku aku pun juga tidak mengetahui keberadaan Miko,
mungkin begitu juga sebaliknya terhadap Miko. Ya, aku memang salah mengucapkan
hal seperti itu kepada Miko yang selama ini ternyata mencintaiku. Tapi aku
harus mengatakannya agar tidak kurasakan sakitnya kehilangan seorang sahabat
terlebih seperti Miko di hidupku, apalagi itu hanya karena masalah cinta.
Masalah yang enggan kuucapkan dengan kata-kata.
Begitu sepi
tanpa Miko di sampingku saat ini, kalaupun ingin kuceritakan kesepian ini hanya
kepadanyalah aku mau menceritakan. Di rumah pun Miko tidak lagi muncul
sampai-sampai Abah dan Mama juga bingung kenapa Miko tidak pernah ke sini lagi.
Aku tidak mau menceritakan kepada mereka berdua karena aku yakin aku pasti akan
kena marah karena sudah menyakiti lelaki yang sangat baik terhadap kami.
Kubiarkan saja Miko berbuat semaunya untuk menghindariku, mungkin memang itulah
ganjaran yang pantas kudapatkan karena perbuatanku. Tapi, apa itu yang disebut
sahabat? Hanya karena cinta dia meninggalkanku, menghilang dari pandanganku
dalam beberapa waktu. Aku meerindukanmu Miko, sangat merindukanmu.
Aku tahu Miko
hari ini ada di sekolah dan kulihat dia tadi pagi memarkir motor merah besarnya
itu di tempat parkir sekolah, setelah berhari-hari tidak terlihat olehku entah
di mana dia bersembunyi. Aku beranikan diri untuk menghampiri ke kelasnya untuk
meluruskan masalah ini, dia bukan lagi kanak-kanak yang tidak seharusnya
bersikap seperti itu. Dia Miko, lelaki yang baik, patuh, rajin dan sopan juga
dewasa menghadapi masalah.
Kulihat Miko
sedang murung di tempat duduknya, kucoba memanggil namanya tapi dia tidak
menoleh ke arahku. Terus kucoba memanggilnya namun dia tetap tidak
mendengarkanku. Geram aku akan sikapnya yang seperti itu lalu kuhampiri dia.
“Miko, kenapa
kamu tidak menoleh kepadaku saat aku memanggilmu tadi? Kenapa kamu menghilang
beberapa hari ini? Ke mana saja kamu, mencoba menghindariku hanya karena
masalah ini? Apa yang mengubah sikapmu menjadi seperti anak-anak ini?” marahku
kepada Miko yang hanya berdiam diri duduk dengan renungannya di hadapanku
Aku
meninggalkan Miko begitu saja karena dia masih tidak mau menjawab pertanyaanku
dan masih tidak mau mendengarkanku, tapi aku tidak menyerah begitu saja untuk
meluruskan kembali masalah cinta ini. Lalu kudatangi rumah Miko sepulang
sekolah berharap bisa bertemu dengannya dan membicarakan masalah ini untuk
segera diselesaikan dengan mudah.
Kulihat tidak
ada motor merah besarnya itu di halaman rumah, pertanda kalau Miko belum juga
pulang. Agar tidak lelah berbolak-balik lagi kuputuskan untuk menunggu Miko di
depan rumahnya. Aku duduk di sebuah ayunan yang kami buat bersama waktu itu,
mengingatkanku akan masa-masa bahagia bersama sahabatku itu, lebih bahagia dari
apapun selama ini.
Aku merasa ada
yang memindahkan tubuhku ke tempat yang lebih empuk untuk ditiduri, seseorang
yang kukenal aroma tubuhnya. Aku tersentak sadar akan tidur pulasku di ayunan
itu. Tujuanku untuk menunggu Miko pulang ke rumah dan membicarakan masalah ini
kepadanya. Sekarang aku tidak lagi berada di ayunan itu, melainkan di tempat
tidur yang nyaman ini, tempat tidur Miko yang sangat hangat ini.
“Miko, dia
pasti yang mengangkatku ke sini, aku yakin dia pasti sudah pulang,” kataku
yakin dan segera bangun dari tempat tidur itu.
Segera aku
bangun dan keluar kamar untuk mencari-cari Miko, kuteriakkan namanya
berkali-berkali tapi tidak ada yang menjawab. Saat itu sudah malam, dan semua
lampu telah dimatikan. “Kenapa dia tidak membangunkanku saat melihatku tertidur
di ayunan itu, dia masih saja mempertanggungjawabkanku agar aku tetap
terlindung dan merasa nyaman,” kataku bertanya-tanya.
Lampu ruang
tamu kemudian mendadak menyala, ada seseorang yang mungkin terbangun karena
teriakanku tadi memanggil-manggil nama Miko, mungkin saja itu Miko. Tapi,
alangkah kagetnya aku mengetahui tempat ini, tempat yang sangat tidak asing
bagiku, tempat yang selalu kulihat setiap harinya. Ini bukan rumah Miko, ini
adalah ruang tamu rumahku, tidak salah lagi aku mengenal jelas ruangan ini. Aku
bertambah yakin saat seseorang yang menyalakan lampu tadi ternyata adalah Mama
yang terbangun karena mendengar teriakanku memanggil Miko.
“Lidya, apa
yang kamu lakukan malam-malam begini?” tanya Mama heran kepadaku.
“Ma, bukannya
tadi Lidya sedang berada di rumah Miko? Miko yang membawa Lidya ke kamar kan Ma? Sebelumnya Lidya tertidur di
ayunan depan rumah Miko. Apa Mama bertemu dengan Miko? Lidya mau bicara
dengannya Ma..” tanyaku yang juga heran kepada mama.
“Miko? Lidya,
Miko sudah tidak ada, apa kamu tidak ingat Miko meninggal karena kecelakaan
seminggu yang lalu sesaat setelah mengantarkanmu pulang ke rumah? Dan tidak ada
Miko datang ke sini hari ini, kamu sudah tertidur pulas di kamarmu sejak tadi
sore Lidya, kita bahkan pergi bersama-sama pada saat pemakaman Miko. Apa kamu
melupakan itu semua?” jawab mama yang mencengangkanku dan membuat seluruh
sendiku terasa lemas dan tidak berdaya.
“Apa? Jelas
tadi pagi aku melihat Miko memarkir motornya di parkiran sekolah, dan kulihat
dia murung di kelas, aku bahkan menghampiri Miko untuk memarahinya akan
sikapnya yang seperti anak-anak itu, menjauhiku dan tidak mau menoleh kepadaku
saat aku panggil namanya. Lalu, siapa yang mengantarku pulang ke rumah? Aku
masih ingat kalau aku menunggu Miko di ayunan depan rumahnya untuk membahas
masalah ini sampai aku tertidur di sana dan dipindahkannya aku ke tempat tidur
yang hangat itu. Mana mungkin dia meninggal begitu saja sedang masalah kami
belum juga selesai, aku mau bertemu dengannya. Dia sahabat terbaikku yang tidak
akan kuubah pandangannya menjadi buruk hanya karena masalah cinta.” Jelasku
dengan semua penasaran ini.