Kamis, 04 Oktober 2012

Sendumu Miko


Miko tiba-tiba datang kepadaku dan memaksaku untuk menaiki motor merah besarnya, karena kami sudah lama berteman dan sudah satu sekolah sejak SMP. Aku pun mengiyakan saja ajakannya untuk membawaku pergi walaupun aku tidak tahu ke mana dia akan membawaku.
Aku percaya kepada Miko hanya karena kami sudah lama berteman dan kukenal karakternya itu. Setiap hari ada saja yang diceritakan Miko kepadaku, penting atau tidak itu bagiku dia tetap mau membagi ceritanya kepadaku. Begitu pula sebaliknya aku kepada Miko. Selain itu Miko lelaki yang baik, patuh, rajin dan sopan, terlebih kepada orangtuaku, setiap perkataanya penuh dengan tata bahasa yang halus dan lembut walaupun kadang ia suka mengejekku. Tapi itulah cara kami berteman sampai sekarang ini.
“Miko, kemana kamu membawaku pergi?” tanya ku kepadanya yang dari tadi hanya berkonsentrasi kepada jalan yang ditujunya.
“Sebentar lagi kamu juga akan mengetahuinya, bersabarlah!” jawabnya.
Aku tahu ada sesuatu yang ingin disampaikan Miko kepadaku, mungkin sesuatu yang penting atau hanya guyonannya saja seperti biasanya. Entahlah, apapun itu akan kudengarkan untuknya. Tak sabar aku menunggu, perjalanan ini sudah semakin jauh meninggalkan tempat Miko menjemputku tadi, walaupun aku tahu jawaban Miko hanya menyuruhku bersabar untuk mengetahui ke mana dia akan membawaku pergi dan apa yang akan dikatakannya kepadaku nanti tetap saja aku ingin lekas mengetahuinya. Kuberanikan diri untuk menanyakannya sekali lagi.
“Seberapa jauh lagi kau akan membawaku pergi Miko, sebenarnya apa yang akan kamu katakan kepadaku sampai-sampai sejauh ini kamu membawaku pergi?” Tanyaku dengan penasarannya.
“Sabarlah dulu Kimi, sebentar lagi juga akan terlihat tempat yang akan kita tuju itu,” jawabnya seolah tidak mau mengatakan apa yang ingin dikatakannya sebelum sampai ke tempat itu.
Kimi, begitulah ia memanggilku di antara teman-teman dan orangtuaku yang biasa memanggilku Lidya. Karena namaku adalah Kimilidya, aku juga tidak mengerti kenapa dia memanggilku begitu, tapi karena itu juga menyangkut namaku jadi kubiarkan saja dia memanggilku Kimi.
Akhirnya, setelah menempuh perjalanan jauh itu kami sampai di sebuah pantai yang indah. Di sana kulihat sekumpulan cahaya indah tertata rapi membentuk sebuah hati, kudekati dan kuperhatikan betapa indahnya cahaya itu.
“Miko, inikah yang mau kau tunjukkan kepadaku? Ini indah,” kataku mengagumi perbuatan Miko ini.
Kami pun duduk di tengah-tengah cahaya lilin yang mengelilingi itu, begitu hangat mengalahkan udara dingin hembusan angin pantai yang mengarah kepada kami. Kami pandangi keindahan pantai yang sudah hampir menenggelamkan matahari setengah bagian. Begitu indah dengan warna jingga kemerah-merahan yang bersinar mengkilap itu.
“Kimi, pernahkah kamu berpikir aku bisa melakukan hal ini? Tentu tidak mudah membuatnya, tidak mudah juga menempuh perjalanan jauh untuk bisa melakukan ini. Hal yang hanya akan kulakukan untuk seseorang yang aku cintai,” kata Miko dengan mata sendunya memandang ke arah pantai yang ombaknya bergulung-gulung dengan ributnya.
“Miko, apakah kamu sedang jatuh cinta? Kepada siapa? Tidak seperti biasanya aku melihat mata sendumu itu, seseorang yang sedang jatuh cinta bukankah harus bahagia?” tanyaku penasaran kepada Miko
“Ya Kimi aku bahagia, aku jatuh cinta. Sudah lama sekali, lama sebelum kita berkenalan. Lama sebelum kita bisa seakrab ini, aku jatuh cinta. Cinta kepada dia seorang, dan hanya untuknyalah aku menaruh hati ini. Aku memandangnya dari jauh hanya karena ingin melihat senyum manisnya, bahagianya sangat berarti di pandanganku,” jawab Miko menjelaskan.
“Benarkah? Kenapa kamu tidak pernah menceritakannya kepadaku? Setelah sekian lama kita berteman, aku pikir ceritamu sudah kudengar semua. Tapi nyatanya kamu menyembunyikan hal seperti ini dariku. Bolehkah aku mengetahui siapa orang itu? Orang yang selama ini kamu cintai itu?” tanyaku lagi
Miko menghembuskan napasnya dalam, seolah berat dia mengatakannya kepadaku. Kupandangi wajahnya dengan tulus, matanya masih saja menampakkan kesenduan yang membuatku merasa tidak enak hati untuk terus memandanginya.
“Maafkan aku Kimi, mungkin hanya itu yang bisa kulakukan. Menyembunyikan sesuatu yang membuatku bahagia, menyembunyikan seseorang yang sungguh kucintai, tak berani kuungkap semua rasaku. Aku terlalu takut untuk kehilangannya, terlalu takut memudarkan senyum di wajahnya hanya karena dia mengetahui betapa aku sungguh mencintainya,” jawab Miko yang terlihat menyimpan saja perasaannya itu.
Akankah aku? Akankah aku orang yang dimaksud Miko? Apakah Miko mencintaiku? Tapi kenapa dia tidak mengungkapkannya dan mengatakan yang sebenarnya kepadaku? Apa karena semua ceritaku, ceritaku tentang semua lelaki yang kukenal yang mendekatiku hanya untuk menjadikan aku kekasih mereka. Seringkali aku mengenalkan lelaki yang jadi pacarku kepada Miko, tapi Miko hanya memaksakan senyumnya agar terlihat olehku dia juga merasakan kebahagiaanku saat itu. Hanya itu yang kupikirkan di kepalaku saat ini, berusahaku menampik pikiranku barusan berharap Miko tidak benar-benar mencintaiku karena dengan begitu hubungan kami tidak akan terpecah seperti halnya aku dengan mantan-mantanku dulu. Tapi kemudian Miko bersuara lagi, mungkin dia sudah tidak tahan untuk segera memberitahuku seseorang yang dicintainya itu.
“Miko, Kimi, Kimi, Miko.. Tidakkah orang-orang sudah memasangkan nama kita? Saat aku dicari seseorang dan tidak tahu harus mencari ke mana, semua orang menyarankan namamu untuk lebih cepat menemukanku, begitu juga sebaliknya aku. Sekarang kita sudah begitu dekat satu sama lain, tidak kusangka sampai sejauh ini kupendam perasaanku, perasaanku kepadamu. Gadis yang selama ini kucintai,” kata Miko mengagetkanku dengan wajahnya yang tulus kupandangi.
Dugaan akan pikiranku tadi ternyata benar, Miko mencintaiku. Dapat kubayangkan perasaannya yang tulus itu karena kukenal karakter lelaki yang hampir setiap hari kulihat ini namun tak pernah bosan aku bersamanya. Walaupun begitu, kenapa aku tidak merasakan hal yang sama seperti Miko? Tak pernah terbersit sedikit pun di benakku untuk mencintai Miko, karena Miko itu sahabatku, sesorang yang tidak ingin kuubah pandangannya yang awalnya baik dan akhirnya menjadi jahat seperti kebanyakan laki-laki yang pernah kucintai dan mencintaiku.
“Miko, benarkah itu? Kenapa aku? Benarkah selama ini kau menjadi sahabatku hanya karena ingin mendekatiku? Bukankah kamu tahu aku tidak akan pernah menjadikan sahabatku sebagai kekasihku dalam kehidupan ini. Kenapa kamu mengatakannya kalau kamu sudah tahu akan jawabanku? Untuk itukah kamu memasang wajah sendumu itu kepadaku?” tanyaku terus kepada Miko
“Berhentilah untuk terpaku dengan anggapan kekasih dan pasangan hidup itu akan membuatmu merasa nyaman di awal dan susah di akhir. Tidak semua lelaki seperti itu! Semuanya memunyai jodoh masing-masing untuk dipertanggungjawabkan kehidupannya kelak oleh lelaki yang menjadi pasangannya. Kenapa kamu terlalu takut merasa disakiti oleh laki-laki yang baik terhadapmu? Buktinya selama ini kamu bergonta ganti pasangan dan sering mengenalkannya kepadaku, walau akhirnya kamu disakiti juga oleh mereka. Apa mereka semua tidak membuatmu menjadi belajar akan kesalahan terdahulu? Aku, yang selama ini sudah menjadi sahabatmu juga belajar dari cerita-ceritamu kepadaku.” Jawab Miko yang tiba-tiba memuncakkan amarahnya kepadaku.
“Stop Miko, stop!! Berhentilah mencintaiku, aku akan bahagia di depanmu, kamu akan dengan leluasa melihat senyumku setiap hari kalau kamu tidak mengatakan hal ini kepadaku. Aku sangat menyayangimu, menyayangi sahabat-sahabatku, tidak mau hanya karena cinta dan keinginan untuk bersama selamanya kuhancurkan kegembiraanku bersama sahabatku. Tidak akan mudah, tidak akan sama jadinya kalau saling memunyai perasaan itu,” teriakku di tengah kegelapan yang hanya menyisakan cahaya dari beberapa lilin yang tersusun di sekeliling kami
Miko sudah tidak bersuara dan menuntunku untuk melewati pasir pantai yang lembut untuk menuju ke arah motor merah besarnya itu. Dia tahu batas waktu pulangku ke rumah, sebelum lewat waktu itu Miko biasanya mengajakku untuk segera pulang mau atau tidak mau aku karena baginya aku adalah tanggungawabnya sebagai seorang sahabat yang baik di mata keduaorangtuaku.
Kebisuan menyelimuti perjalanan pulang kami, tak ada sepatah kata pun yang kami ucapkan, hanya memendam perasaan masing-masing di dalam hati. Meninggalkan kenangan di pantai indah itu, kenangan yang hanya bisa kulihat dari wajah Miko yang semakin sendu itu. Miko memang lelaki yang bertanggung jawab, begitu sampai di rumahku dia langsung meminta maaf karena memulangkanku sedikit terlambat dari biasanya kepada Abah yang kebetulan belum tidur saat itu. Seperti yang aku duga, Abah begitu memercayai Miko, sehingga mudah bagi Miko untuk mendapatkan maaf dari Abah.
Setelah hari itu, tak terlihat lagi Miko di sampingku. Tidak seperti biasanya dia selalu menghampiri kekelasku untuk sekadar bercanda gurau bersama, karena kelas kami berbeda. Akhir-akhir ini sulit sekali untuk menemukan kami bersama, saat orang lain mencari Miko kepadaku aku pun juga tidak mengetahui keberadaan Miko, mungkin begitu juga sebaliknya terhadap Miko. Ya, aku memang salah mengucapkan hal seperti itu kepada Miko yang selama ini ternyata mencintaiku. Tapi aku harus mengatakannya agar tidak kurasakan sakitnya kehilangan seorang sahabat terlebih seperti Miko di hidupku, apalagi itu hanya karena masalah cinta. Masalah yang enggan kuucapkan dengan kata-kata.
Begitu sepi tanpa Miko di sampingku saat ini, kalaupun ingin kuceritakan kesepian ini hanya kepadanyalah aku mau menceritakan. Di rumah pun Miko tidak lagi muncul sampai-sampai Abah dan Mama juga bingung kenapa Miko tidak pernah ke sini lagi. Aku tidak mau menceritakan kepada mereka berdua karena aku yakin aku pasti akan kena marah karena sudah menyakiti lelaki yang sangat baik terhadap kami. Kubiarkan saja Miko berbuat semaunya untuk menghindariku, mungkin memang itulah ganjaran yang pantas kudapatkan karena perbuatanku. Tapi, apa itu yang disebut sahabat? Hanya karena cinta dia meninggalkanku, menghilang dari pandanganku dalam beberapa waktu. Aku meerindukanmu Miko, sangat merindukanmu.
Aku tahu Miko hari ini ada di sekolah dan kulihat dia tadi pagi memarkir motor merah besarnya itu di tempat parkir sekolah, setelah berhari-hari tidak terlihat olehku entah di mana dia bersembunyi. Aku beranikan diri untuk menghampiri ke kelasnya untuk meluruskan masalah ini, dia bukan lagi kanak-kanak yang tidak seharusnya bersikap seperti itu. Dia Miko, lelaki yang baik, patuh, rajin dan sopan juga dewasa menghadapi masalah.
Kulihat Miko sedang murung di tempat duduknya, kucoba memanggil namanya tapi dia tidak menoleh ke arahku. Terus kucoba memanggilnya namun dia tetap tidak mendengarkanku. Geram aku akan sikapnya yang seperti itu lalu kuhampiri dia.
“Miko, kenapa kamu tidak menoleh kepadaku saat aku memanggilmu tadi? Kenapa kamu menghilang beberapa hari ini? Ke mana saja kamu, mencoba menghindariku hanya karena masalah ini? Apa yang mengubah sikapmu menjadi seperti anak-anak ini?” marahku kepada Miko yang hanya berdiam diri duduk dengan renungannya di hadapanku
Aku meninggalkan Miko begitu saja karena dia masih tidak mau menjawab pertanyaanku dan masih tidak mau mendengarkanku, tapi aku tidak menyerah begitu saja untuk meluruskan kembali masalah cinta ini. Lalu kudatangi rumah Miko sepulang sekolah berharap bisa bertemu dengannya dan membicarakan masalah ini untuk segera diselesaikan dengan mudah.
Kulihat tidak ada motor merah besarnya itu di halaman rumah, pertanda kalau Miko belum juga pulang. Agar tidak lelah berbolak-balik lagi kuputuskan untuk menunggu Miko di depan rumahnya. Aku duduk di sebuah ayunan yang kami buat bersama waktu itu, mengingatkanku akan masa-masa bahagia bersama sahabatku itu, lebih bahagia dari apapun selama ini.
Aku merasa ada yang memindahkan tubuhku ke tempat yang lebih empuk untuk ditiduri, seseorang yang kukenal aroma tubuhnya. Aku tersentak sadar akan tidur pulasku di ayunan itu. Tujuanku untuk menunggu Miko pulang ke rumah dan membicarakan masalah ini kepadanya. Sekarang aku tidak lagi berada di ayunan itu, melainkan di tempat tidur yang nyaman ini, tempat tidur Miko yang sangat hangat ini.
“Miko, dia pasti yang mengangkatku ke sini, aku yakin dia pasti sudah pulang,” kataku yakin dan segera bangun dari tempat tidur itu.
Segera aku bangun dan keluar kamar untuk mencari-cari Miko, kuteriakkan namanya berkali-berkali tapi tidak ada yang menjawab. Saat itu sudah malam, dan semua lampu telah dimatikan. “Kenapa dia tidak membangunkanku saat melihatku tertidur di ayunan itu, dia masih saja mempertanggungjawabkanku agar aku tetap terlindung dan merasa nyaman,” kataku bertanya-tanya.
Lampu ruang tamu kemudian mendadak menyala, ada seseorang yang mungkin terbangun karena teriakanku tadi memanggil-manggil nama Miko, mungkin saja itu Miko. Tapi, alangkah kagetnya aku mengetahui tempat ini, tempat yang sangat tidak asing bagiku, tempat yang selalu kulihat setiap harinya. Ini bukan rumah Miko, ini adalah ruang tamu rumahku, tidak salah lagi aku mengenal jelas ruangan ini. Aku bertambah yakin saat seseorang yang menyalakan lampu tadi ternyata adalah Mama yang terbangun karena mendengar teriakanku memanggil Miko.
“Lidya, apa yang kamu lakukan malam-malam begini?” tanya Mama heran kepadaku.
“Ma, bukannya tadi Lidya sedang berada di rumah Miko? Miko yang membawa Lidya ke kamar kan Ma? Sebelumnya Lidya tertidur di ayunan depan rumah Miko. Apa Mama bertemu dengan Miko? Lidya mau bicara dengannya Ma..” tanyaku yang juga heran kepada mama.
“Miko? Lidya, Miko sudah tidak ada, apa kamu tidak ingat Miko meninggal karena kecelakaan seminggu yang lalu sesaat setelah mengantarkanmu pulang ke rumah? Dan tidak ada Miko datang ke sini hari ini, kamu sudah tertidur pulas di kamarmu sejak tadi sore Lidya, kita bahkan pergi bersama-sama pada saat pemakaman Miko. Apa kamu melupakan itu semua?” jawab mama yang mencengangkanku dan membuat seluruh sendiku terasa lemas dan tidak berdaya.
“Apa? Jelas tadi pagi aku melihat Miko memarkir motornya di parkiran sekolah, dan kulihat dia murung di kelas, aku bahkan menghampiri Miko untuk memarahinya akan sikapnya yang seperti anak-anak itu, menjauhiku dan tidak mau menoleh kepadaku saat aku panggil namanya. Lalu, siapa yang mengantarku pulang ke rumah? Aku masih ingat kalau aku menunggu Miko di ayunan depan rumahnya untuk membahas masalah ini sampai aku tertidur di sana dan dipindahkannya aku ke tempat tidur yang hangat itu. Mana mungkin dia meninggal begitu saja sedang masalah kami belum juga selesai, aku mau bertemu dengannya. Dia sahabat terbaikku yang tidak akan kuubah pandangannya menjadi buruk hanya karena masalah cinta.” Jelasku dengan semua penasaran ini.

Rabu, 19 September 2012

Pertemuan Kami Untuk Perpisahan Kami


Ada perasaan janggal yang ku rasakan saat ini, sesaat setelah kebahagiaan ku bersama beliau. Tak ku mengerti apa perasaan janggal itu, tapi sekarang perasaan itu berbaur mengganggu ketenangan ku disepanjang perjalanan pulang menuju rumah.

           Baru saja aku mengantar Mama ke bandara, beliau mau bepergian ke Jakarta. Entah mengapa beliau mau pergi kesana setelah sebelumnya tidak pernah bepergian dari rumah meninggalkan anak-anaknya. Selama perjalanan mengantar beliau ke bandara, entah kenapa perasaan rindu kian menusuk jantung. Sepanjang jalan ku peluk dan ku genggam erat tangan beliau, tak mau ku lepaskan walau sedetik. Ada perasaan rindu yang kian menggebu-gebu didalam diri ini, entahlah tapi itu begitu nyata.

           Apakah hanya aku yang merasakan perasaan seperti ini? Kenapa kaka-kaka ku yang lain terlihat sangat santai dan biasa-biasa saja. Perasaan rindu kepada siapakah yang sedang kurasakan kini? Begitu menusuk, dan sangat menyakitkan. Setau ku, aku tidak memiliki seseorang yang mungkin saja kurindukan kedatangannya saat ini disamping ku. Kalaupun ada itu mungkin saja Abah, Ayahku yang meninggal saat aku berumur 3 tahun. Aku begitu merindukan beliau dan sangat ingin bertemu dengannya.

          Dapat ku lihat disamping ku sesosok wanita cantik yang merawat dan membesarkan ku selama ini, tapi mungkinkah aku merindukannya? Selama ini dia bahkan tidak pernah meninggalkan rumah untuk pergi jauh, kalaupun untuk pergi jauh dia juga membawa serta gadis kecilnya ini bersamanya. Ya, aku adalah gadis kecil dari wanita yang sangat cantik itu. Walaupun umurku sudah tidak pantas lagi untuk disbut sebagai gadis kecilnya, tapi dia tetap memperlakukanku seperti anak kesayangan yang selalu ingin diperhatikannya.

          Sebenarnya aku juga merasa ada hal yang tidak beres dengan Mama, aku seperti sudah kehilangan beliau beberapa tahun teakhir ini, tak terlalu nampak oleh ku wajah beliau dimataku, tak ku rasakan hangatnya peluk beliau dibadan ku, dan tak ku dapat raih beliau dengan usapan lembut jemari ku. Aku bingung, atau hanya aku yang merasakan seperti itu karena kaka-kaka ku terlihat biasa saja saat berhadapan dengan beliau.

          Canda gurau membawa serta keberangkatan kami menuju bandara untuk kepergian beliau, tak ku sangka aku begitu senang berada disamping beliau, membicarakan apa saja yang ingin ku sampaikan kepadanya, menceritakan apapun yang ingin ku bagi kepadanya. Tak pernah ku rasakan bahagia seperti itu selama ini, bukan karena kepergian beliau meninggalkan kami anak-anaknya sehingga aku dapat merasa bebas tanpa beliau yang sering menegurku agar tidak melakukan hal yang membuat dirinya khawatir. Tapi lebih karena rasa rinduku yang aku tidak mengerti seolah tertuju kepada beliau.

          Sekarang sampailah kami di bandara, tentu saja untuk berpisah dengan beliau, Mama ku tercinta ini. Kami pun berpelukan dengan sangat erat seolah tidak mau berpisah. dalam peluknya beliau mengatakan “Jaga diri baik-baik ya sayang, Mama akan menjagamu..” Sentaklah aku merasa kaget dengan ucapan beliau, tapi tak lekas ku berfikiran negatif atas perkataan beliau itu. Hanya diam ku yang membawa kepergian beliau saat menaiki pesawat yang lantas terbang tinggi.

          Diperjalanan pulang, perasaan yang sangat keras menusuk jantung ini terasa lagi. Entah apapun itu tapi sangat menyakitkan, aku berfikir keras menemukan jawaban apa yang tepat untuk perasaan ku ini.

Tak lama setelah itu terdengar suara yang memanggil nama ku, suara yang tak asing bagiku, ya suara kaka ku sebagai tanda aku harus lekas bangun dan segera mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolah.

Setelah teriakan itu, barulah aku sadar akan perasaan ku, perasaan rindu yang menggebu-gebu dan menusuk jantung ini adalah perasan rindu ku terhadap Mama, orang yang ku jumpai di dalam mimpi setelah selama kurang lebih 3 tahun ini tak terlalu nampak oleh ku wajah beliau dimataku, tak ku rasakan hangatnya peluk beliau dibadan ku, dan tak ku dapat raih beliau dengan usapan lembut jemari ku. Dan barulah aku sadar selama kurang lebih 3 tahun ini beliau juga telah meninggalkan kami anak-anak beliau untuk selamanya.

Rasa rinduku yang berlebih ini mungkin juga dirasakan oleh beliau, merindukan gadis kecil yang selalu ingin diperhatikannya setiap saat. Saat tak bisa lagi kami bertatap muka, bercerita bersama dan tertawa bersama. Hanya mimpi yang mempersatukan kami walau kami bertemu hanya untuk berpisah lagi..

Untuk Mama yang akan selalu kurindukan kedatangannya..

Minggu, 13 Mei 2012

OST. Cinderella Story - Once Upon A Song

uhhm, malam ini mau posting lirik lagu dulu yaa. masalah cerpen yang waktu itu gue janjiin, belum kelar sih lagi, hehehhee. soalnya gue lagi suka bangeettt sama lagu-lagu ini, yah lumayanlah bisa menghibur gue yang emang lagi #eheeem! oke.okee, lupakan.. yaudah ini nih daftarnya, di klik aja yaaah.!